GMIM Menawar Zaman

Fenomena Covid-19 memberikan gebrakan yang baru dalam peradaban umat manusia. Banyak hal yang sukar ditelaah dan menimbulkan banyak sekali 'kebiasaan yang baru'. Siapa yang menyangka bahwa ternyata ada satu zaman dimana kita tidak bisa menyentuh wajah kita sendiri, dan kaum-kaum rebahan menjadi sangat bangga karena melalui merebahkan diri #dirumahaja kita bisa jadi seorang pahlawan? Sungguh, apabila badai ini berlalu akan menjadi sejarah yang susah dilupakan dalam peradaban manusia.

Tidak hanya memberikan dampak dalam kehidupan sosial, ekonomi. budaya dan sebagainya, bagi saya fenomena ini juga berdampak besar dalam tumbuh kembang iman dan liturgi hidup dalam bergereja. Saya ingin lebih fokus bervisi dalam konteks Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM).
GMIM sebagai sebuah institusi gereja juga diperhadapkan pada masalah Covid-19 ini. GMIM juga turut serta dalam memutus rantai penyebaran wabah Covid-19.

Yang ingin saya bahas adalah munculnya ketidakbiasaan yang mungkin sepanjang sejarah 85 tahun Gereja ini berdiri mandiri, baru pertama kali dilakukan. Badan Pekerja Majelis Sinode (selanjutnya disebut 'BPMS') memebrikan himbauan untuk mengalihkan tempat ibadah di rumah masing-masing. Selain itu, BPMS juga memberikan sarana Renungan Online baik itu melalui Facebook (Fanpage Multimedia GMIM), YouTube (Multimedia GMIM) dan Aplikasi/website dodokugmim.com serta Radio Sion FM 106.7. Semua itu ditawarkan oleh GMIM dan bagi saya secara pribadi, itu tidak ada salahnya. Justru bagi saya ini adalah suatu kesukacitaan yang besar karena saya tidak perlu membaca buku mengenai Teologi Kerbau di Thailand, Teologi Minjung di Korea, Teologi Pembebasan di Amerika Latin dan lain-lain untuk memahami dan mengalami secara riil apa itu Teologi Kontekstual hehehehe.

INI TENTANG KESIAPAN!
Dengan tawaran ini, saya pikir bahwa GMIM secara tidak langsung mendaratkan Teologi yang 'baru' bagi anggota jemaatnya. Teologi yang baru yang saya maksudkan adalah sebuah upgrade dari 85 tahun GMIM ber syn-hodos (berjalan bersama). Jemaat disuguhi Praktek beribadah yang 'tidak seperti biasa'. Jemaat diyakinkan bahwa iman itu tetap bertumbuh meski kebaktian minggu tidak dilaksanakan di gedung gereja. Jemaat diyakinkan bahwa iman itu tetap tumbuh meskipun mendengarkan sermon via gawai atau televisi. Dan itu tidak ada salahnya.

Suguhan itu saya yakin menjadi pengalaman iman bagi GMIM di generasi ini. Tapi, apakah GMIM sudah siap untuk menyikapi pasca Covid-19 ini?

Nah, dari pengalaman iman ini, seketika tidak akan hilang secara tiba-tiba, melainkan akan berdampak pada situasi masa datang. Sebut saja kebaktian minggu yang tidak dilaksanakan di gedung gereja. Suku Minahasa sangat kental dengan sacred place dan sacred time. Di mana melihat waktu dari hal-hal yang sakral, seperti gunung meletus dan burung manguni yang hinggap menandakan ada sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat. Melihat tempat seperti batu, pohon dan sebagainya sebagai tempat yang sakral. Nah, ini berdampak pada kebaktian. Orang Minahasa, terpola bahwa Hari Minggu, jam 09.00 waktu ibadah. Tempatnya di gedung gereja. Pola 'kesakralan' ini menyentuh sampai di cara kita melaksanakan kebaktian.

Di situasi sekarang, jemaat sudah 'disiram' pola yang baru yang mungkin bertujuan untuk tidak merubah pola yang lama, melainkan sebagai sebuah alternatif karena situasi yang ada. Pada akhirnya meninggalkan hal yang sudah tidak tabu lagi. Mungkin warga GMIM sebelum COVID-19 melihat ibadah yang sebatas di gedung gereja dan mendengarkan secara langsung khotbah. Tetapi melalui tawaran BPMS GMIM akibat COVID-19, jemaat dibiasakan dengan hal yang 'tidak biasa', meskipun argumen saya menyatakan bahwa itu tidak ada salahnya. Seperti yang katakan di atas, ketidakbiasaan ini malahan mendorong jemaat untuk mengkontekstualisasikan teologi yang 'baru'.

SEKALI LAGI TENTANG KESIAPAN
BPMS GMIM harus melihat ini sebagai persiapan menyambut zaman. Berbagai kajian harus dilakukan secara komprehensif guna mempersiapkan alat kelengkapan sebagai media pelayanan. Katakanlah Teknologi. Teknologi harus mampu menjadi 'kawan' bagi gereja, dan bukan melulu dijadikan 'lawan' seolah-olah mendikotomikan Gereja dan Teknologi. Mempersiakan dengan matang sumber daya yang ada. Selain itu, liturgi dan kesiapan ibadah perlu diberikan perhatian yang khusus. 

Leitourgia (laos=bangsa, persekutuan umat; ergon=melayani) digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah, semisal penarik pajak. Rasul Paulus menyebut dirinya sebagai pelayan (leitourgoi) Allah (Roma 13 : 6). Sebagaimana pemahaman Paulus, liturgi adalah juga sikap beriman sehari-hari. Liturgi tidak terbatas pada perayaan gereja. Artinya, liturgi bukan hanya sekedar rundown dalam kebaktian, melainkan menjadi liturgi hidup yang dimaknai dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya harap semuanya siap. GMIM tidak boleh takage dan takabur melihat zaman ini. Mungkin dampak positif dari COVID-19 ini menjadikan kita lebih mawas untuk menyikapi tantangan zaman ini. GMIM harus menawar zaman ini. Jangan melihat perubahan zaman sebagai hal yang menyesatkan, melainkan baharuilah gereja, karena untuk itulah gereja hadir di dunia.

Comments

Popular posts from this blog

Ringkasan Buku Sejarah Pikiran & Praktek Pendidikan Agama Kristen - Robert Boehlke Ph.D

Khotbah mengenai 1 Petrus 3 : 13-22

Laporan PPL 2017 - Gereja Anglikan Batam, 'Church of The True Light